Tahun Baru Islam  

Posted by IKPM SOLO RAYA in

KENAPA MEREKA TIDAK MENYUKAI ISLAM?
Hasan Abdullah Sahal*
Berbicara tentang banyaknya orang yang tidak menyukai Islam tidak terlepas dari sejarah munculnya Islam itu sendiri di tengah-tengah kultur dan struktur Poleksosbud yang mengitari. Jahiliyah dalam pandangan; fikiran, dalam tindakan; perbuatan, dan dalam ketuhanan; agama.
Pandangan manusia terhadap yang hidup dan kehidupan saat itu sangat jauh dari fitrah manusia, sedangkan Islam adalah agama fitrah. Di antara fitrah manusia adalah bahwasanya fitrah manusia itu bebas, setuju dengan haq, anti terhadap kebathilan, sama derajat sesamanya, di bawah kekuasaan kekuatan ghaib yang tak terjangkau oleh akal manusia.
Menurut sejarah yang autentik, ayat yang pertama diturunkan adalah iqro’, tapi sebenarnya ayat-ayat kauniyah dan ijtimaa’iyah (native dan sosial) sudah dapat dibaca.
Rasul sebagai uswatun hasanah (teladan yang baik) yang ma’shum dari segala perbuatan yang bathil (tidak benar), biografinya menjadi saksi hingga perintah iqro’ dapat diterima oleh kultur yang ada.
Fitrah manusia itu ingin tahu penghalang fitrah ini, menyalahi fitrah! Iqro’ membuka jalan atau pintu, pengetahuan (ilmu) dan berpijak pada itulah Islam dapat muncul. Apalagi di tengah-tengah manusia yang berjalan pada fitrah. Contoh, manusia diciptakan dari unsur jasmani dan rohani, sedang Islam sesuai dengan itu. Dan Islam sesuai dengan fitrah mengakui tauhid (mensatukan Tuhan), ajaran Islam pun demikian. Tapi, setelah mengalami perubahan-perubahan tata sosial, fitrah itu tenggelam tak tampak bahkan ditentang. Apalagi oleh muka yang sudah terpaku dengan kultur tradisi yang rusak. Lebih-lebih bagi yang telah mengenyam “enak”nya berada dalam kultur itu yaitu tokoh-tokoh jahiliyah.
Biasanya, suatu fikiran baru mendapat tantangan (tanggapan reaksi negatif) dari masyarakat karena takut akan hal-hal yang kurang mereka setujui, umpamanya kehilangan keenakan yang mereka capai. Apalagi jika ia datang dari seseorang yang masih muda, ia dianggap belum tahu apa-apa. Ini adalah ciri-ciri masyarakat terbelakang yang statis (jumud) tidak mau maju. Kultur ini jahiliyah dalam nilai kemanusiaan dan kehidupan. Ditilik dari lahiriyahnya, zaman adalah zaman kemajuan ilmu, kehebatan manusia, dan lain sebagainya. Apabila ia diimbangi, dibarengi, ditunjang oleh nilai-nilai positif tentang native, manusia dan kehidupan bersumber pada Islam, sebagai agama yang mendukung dan didukung oleh fitrah karena ia adalah agama fitrah, maka keadaan akan menjadi nyaman, aman dan harmonis. Tapi sayang, yang terjadi malah kemerosotan derajat manusia, mengarah pada kebinatangan dan atau kebendaan.
Oknum-oknum yang berada di tengah-tengah zaman inipun ubahnya seperti oknum-oknum yang hidup di tengah-tengah jahiliyah itu. Bila diteliti, orang-orang yang mewarisi sifat-sifat Abu Jahal, Abu Lahab, Abdullah bin Ubay dan lain-lain cukup banyak. Bahkan Fir’aunpun tidak sedikit, karena mereka hanya menyembah hina dan lapar tidak dapat menjadi sumber produksi (materi).
Pandangan-pandangan terhadap hak-hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan, persis zaman jahiliyah. Manusia hanya menjadi khadim, budak, buruh, pembantu orang-orang yang bertahta dalam masyarakat. Wanita hanya dipendam kehormatannya, dikubur kewanitaannya menjadi hidangan-hidangan lezat orang lain atau dipajang dalam etalase-etalase pedagang-pedagang mode pakaian; dikomersilkan. Di dalam hati, mereka pedih. Tetapi, gemerlapan sinar-sinar mengharuskan mereka tersenyum. Perang di dalam jiwa, di balik cahaya, di belakang layar yang pastinya mereka ngeri dan malu. Harga dirinya dijual sebagai boneka mainan yang dapat ditawar.
Timbul pertentangan dalam diri, antara keyakinan kepada Allah, ketentraman jiwa dan kesejahteraan hidup (IMAN, AMAN, dan UMAN). Harapannya sia-sia mencapai ketiga-tiganya, dipaksa dan terpaksa mengorbankan satu atau dua di antara tiga. Bahkan tiga-tiganya bisa-bisa habis musnah ditelan umur, ditunggu liang kubur.
Apa yang terjadi pada wanita-wanita tak berbeda dengan yang dialami oleh pria yang telah ditelanjangi, diperkosa hak-hak asasinya, dengan cara menuruti kabilah ataupun pejabat-pejabat teras jahiliyah itu. Kalau tidak, pasti akan menerima akibat yang lebih fatal dalam hidupnya. Hilang “iman”, “aman” dan “uman”.
Lapisan bawah, golongan proletar menyembah berhala-berhala menukikkan kepala bersujud di telapak kaki golongan atasan, meskipun tahu bahwa mereka sendirilah yang melukis, memahat dan memasangnya sedang berhala-berhala berpangkat itu sama derajatnya dengan mereka.
Hati berontak, perang dalam diri mereka, mana yang harus dijual? Kehormatannya? Keimanannya? Identitasnya? Kebodohan meliputi segala segi akhirnya mengorbankan dirinya, mencorang-coreng hatinya dengan pulasan yang palsu dan kotor.
Ilmu pengetahuan tidak berarti, tidak berfungsi, diinjak-injak telapak penguasa jahiliyah. Kini ilmu dimiliki nasibnya, kalah dengan harta dan senjata. Ijazah tidak dapat dibeli dengan materi, tapi “orang berijazah” dapat dibeli seharga kursi. Ilmiahnya berubah menjadi kursiologi (ilmiah kursi) atau cara berfikirnya menjadi cara berfikirnya burung beo atau kuda pedati. Perang berkecamuk pada diri mereka, antara misi, kursi dan nasi: risalah ilmiyah, jabatan tahta, atau kesejahteraan keluarga.
“Objektifitas pengetahuan menjadi kabur, luntur atau larut karena “maksud” atau “takut”. Itu sama saja dengan jahiliyyah 100%. Ada di antara kita bertanya-tanya: Lupakah Tuhan Allah waktu itu? ÓõÈúÍóÇäó Çááåõ
Lupakah Tuhan Allah sekarang itu?ÓõÈúÍóÇäó Çááåõ
Tidak, masih ada kesempatan untuk rethinking, berfikir kembali mencari dan menemukan lantas bertaubat. Saat itulah datang rahmat Allah untuk alam semesta. Manusia biasa dari keturunan (nasab yang terhormat, terjaga dari dosa dan noda) yang nantinya akan memimpin “Dunia” secara radikal revolusioner. Muhammad SAW diutus untuk menjadi pelopor, perintis, pendobrak kebathilan dan kejahilan.
Bukannya kita ini, di zaman ini menaruh pengharapan agar Rasulullah SAW turun kembali, juga tidak memesan kitab Al-Qur’an yang baru lagi. Karena kandungan Al-Qur’an itu abadi, kekal sepanjang masa untuk tempat kembali bagi persoalan-persoalan dunia dan dengan sunnatullah sebagai pendamping.
Tanpa dua itu dunia akan selalu berkeping-keping benjol dan brengsek. Bilamana fungsi/peran Islam terlebih ibarat biola dalam suara kelima, niscaya suaranya takkan mempengaruhi baik buruknya simponi; atau, apabila ajaran Islam hanya ibarat suara penonton kelas tiga sedang menyaksikan pertikaian penonton-penonton Tribun dan VIP karena wasit goblok atau susunan permainan yang tak bermutu.
Kita hanya sebagai penggesek suara nomor lima namun diminta, dituntut memperbaiki kesumbangan atau kepalsuan nada lagu dalam simponi yang acak-acakan kacau dan kedodoran. Kita hanya sekedar jadi penonton pertandingan si kelas jembel, dipaksa untuk meleraikan bapak-bapak kita yang bercakar-cakaran, berlempar-lemparan kursi-kursi (hasil tribun stadion dan VIP dan hasil jualan karcis kelas jembel). Tidak mungkin berhasil usaha kita kecuali ada kesadaran mendalam kemantapan hukum bersumber pada keyakinan yang membesar dengan tujuan keharmonisan yang nyaman dan hakiki lahiriyah.
Islam bukan memperbaiki alat atau warna yang tidak serasi. Ia mengembalikan segala sesuatu pada fungsi dan posisi yang tepat. Berani bersuara lantang meskipun sendirian tidak sekedar membeo, menjadi loud speaker pengeras atau semacamnya. Biarpun sinarnya jauh dari keramaian dan aneka lampu, tapi ia adalah sumber cahaya di seluruh dunia. Pohon Islam mengakar dalam hati nurani. Tak bisa dipecat dan tak dapat diusut. Akar itulah yang mendasari semua yang tumbuh (berada) di atas bumi dan juga sebagai pusat yang menghidupi. Islam bukan benalu yang hanya menyandarkan diri pada rizqi tumbuhan lain meskipun saat ini banyak ummatnya yang menjadi benalu.
Jauhnya masa turunnya Islam dari masa ini mendangkalkan ajaran Islam pada pemeluknya. Ini mungkin terjadi. Apalagi tempat berpijak pendukungnya terlalu lemah, maka rumah lebah yang mudah putus dan mudah roboh menjadi tempat berlindung. Dengan seribu satu alasan, peran kebanyakan umat ibarat layang-layang dari daun gadung, dikendalikan dari bawah dengan benang rapuh, diterbangkan, dilayangkan ke angkasa ditepuki, disoraki, dipuja-puji, dirangsang, dirayu agar menari-nari, tertawa, tersenyum yang pada hakikatnya diombang-ambingkan angin dari kanan kiri. Sewaktu-waktu benang bisa diputus, sewaktu-waktu ia diturunkan kembali ke tanah atau disangkutkan pada pepohonan. Apabila rusak atau sobek betapa mudah bagi pemiliknya atau manusia mencari yang lain, betapa murah membeli benang baru. Tuhan mau dibuat dan diatur, agama Tuhan hendak dibengkok-bengkokka n. Terkadang Tuhan digambarkan ibarat seseorang yang berkain sarung dan berkopiah hitam, terkadang seseorang yang berjubah putih dengan sorban atau seseorang yang ber-ruku’ pada suatu salib, terkadang dilukiskan pula sebagai kuda berkepala singa dan lain sebagainya. Subhaanallah… Subhaanallah!. Sisa-sisa ajaran ketuhanan tinggallah khurafat-khurafat, takhayul-takhayul yang sengaja diperuntukkan peribadatan pengabdian. Dari sana dimohon ilham, dari sana dimintai restu, dari sana ideologi falsafah hidup dicanangkan.
Untuk mengabadikan kekayaan dan kedudukan, mereka mengadakan perayaan-perayaan, hari-hari besar, peringatan-peringat an agar dapat menyerap hasil materiil sepuas-puasnya, dari itu pula mereka menyedot hasil-hasil bumi kekayaan orang banyak.
Karena persoalan ketuhanan adalah prinsip, maka Islam membina manusia dan pandangannya agar bersih dari Tuhan-tuhan palsu. Tuhan Allah tidak berbentuk apapun atau masuk/menyusup dalam makhluk-makhluk bernyawa maupun benda-benda alam. Suatupun tak menyerupai Allah, Diapun tidak menyerupai sesuatu. Kata-kata ini dipertaruhkan Rasulullah hingga bertaruh nyawa, kompromi, menolak komisi, sogok suap atau hadiah meski sebesar matahari plus bulan. Keyakinan iman inilah yang memisahkan haq dari yang bathil. Tidak ada Tuhan, Sesembahan, Anutan, Penguasa Hukum, Pemelihara selain Dia. Dia Yang Maha tinggi dan Tegak tak tertimpa rasa kantuk atau tidur, Pemilik Mayapada di langit, di angkasa, di jagat raya dan di bumi, di sungai, di laut, di istana, di kolong jembatan, di sawah dan di penjara. Tak ada suatupun yang mendapatkan dispensasi keistimewaan yang Dia pilih sendiri, Dia kasih izin khusus, kepercayaan khusus untuk operasi khusus yaitu para rasul-rasul yang telah terseleksi dari jenis manusia biasa. Dia Yang Maha Tahu apa yang nyata dan rahasia, di depan layar maupun di belakang tabir, zaman dulu, kini dan yang akan datang, di depan pelupuk mata maupun di belakang punggung. Semuanya tak tahu dan tak mengerti ilmu Allah, ketinggian pengetahuan Allah karena kepicikan subjektifitas pengetahuan, kekotoran hati mereka, kesombongan- kesombongan, keterkurangan, keterbatasan, kelemahan, dan kemampuan mereka. Mereka hanya menerima seberkas sinar ilmu, sekedar pengetahuan sesuai kapasitas kemampuan atas kehendak Dia. Kursi singgasana istana-Nya mencakup langit dan bumi. Tak ada keberatan bagi-Nya memelihara, menjaga istana-Nya yang tinggi megah. Dialah Yang Maha Tinggi dan Maha Agung.
Pada saat itu, pada masa ini pula banyak Tuhan-tuhan palsu yang berkeliaran di jalan-jalan. Penguasa menjadi Tuhan, jabatan menjadi Tuhan, materi menjadi Tuhan, wanita cantik menjadi Tuhan. Milliu positif maupun negatif menjadi Tuhan. Mereka itu membuat, melaksanakan, dan menjalankan halal haram semau mereka. Pengikutnyapun menuruti apa yang dihalalharamkan Tuhan-tuhan palsu itu. Adapula yang menobatkan dirinya menjadi wakil Tuhan untuk menghukum atau mengampuni, berbuat sewenang-wenang, mencuri “kun fayakun” di tengah masyarakat, memonopoli kebenaran dan memonopoli surga.
Komunis-komunis bersorban, wereng-wereng berpeci bergentayangan mencari mangsa memperkuat kewibawaan, bersaing dengan kebesaran, keperkasaan, kekayaan Allah dan kemutlakan kekuasaan Allah. Tentu saja itu semua tidak mungkin, mustahil! Semakin tua manusia semakin lemah peyot; Allah dapat memusnahkan harta kekayaan mereka dalam sekejap mata.
Adapula yang akan mengatur kelahiran generasi baru. Wanita-wanita yang akan melahirkan anak-anak dibunuh, dipendam. Zaman ini, wanita-wanita didorong disuruh mendaftarkan diri dalam barisan anti beranak atau barisan beranak terbatas.
Datangnya Islam menyelesaikan persoalan, dininanya manusia, diarahkan pada fungsi yang sebenar-benarnya. Dibetulkannya pandangan manusia itu, diluruskannya cara berfikiran mereka sesuai dengan asas-asas diciptakannya manusia itu dan dikembalikannya umat manusia kepada kedudukan semula, yaitu kepada fitrah.
Pada awal mulanya, bukanlah berhala-berhala batu yang dihancurkan dan dirobohkan, bukan pula pabrik-pabrik khamr, meja-meja judi, lokal-lokal perzinaan, pusat-pusat maksiat dan lain sebagainya.
Sasaran yang prinsip adalah manusia dalam segala aspeknya, jasmaniah, rohaniah, akal, emosi dan segala menifestasinya. Dari hati, akal, fikiran, perasaan, daya tanggap (reaksi), daya pilih (seleksi), terjadilah sikap, sifat dan reaksi yang terwujud dalam perbuatan. Manusia yang baru dapat membedakan sikon (tradisi) yang rusak dan yang benar. Dia harus dapat menguasai keadaan dan bukan diatur oleh akalnya.
Gontor, December 29, '08

>>> gontorians

This entry was posted on Selasa, 30 Desember 2008 at 09.39 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar